Minggu, 13 Agustus 2017

TEORI SASTRA (SOSIOLOGI dan PSIKOLOGI SASTRA)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Berawal dari bahan mentah yang telah merasuki pikirannya sebagai bekal penghayatan yang dalam benak sastrawan menjadi sebuah rasa menggelora, mengkristal menjadi kata-kata yang siap di tuangkan, yang pada akhirnya membentuk rentetan kalimat hingga layak menjadi sebuah karya sastra. Sumardo menyatakan bahwa sastrawan mendapat kepuasan jika ia mengetahui bahwa pikiran dan perasaan yang di ungkapkannya dengan media karya sastra di terima dengan baik oleh penikmat sastra. Jadi karya sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni, sedangkan sasatra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, perasaan dan keyakinan.
Perkembangan karya sastra Indonesia merupakan cermin kehidupan Indonesia dan identitas serta kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Berbagai perubahan yang terjadi di suatu Negara, seperti IPTEK maupun akibat peristiwa alam merupakan bagian inspirasi di dalam penulisan karya sastra. Sastra di indonesiapun berkembang dengan sangat cepat, terutama sastra remaja “teenlit” pada tiga, empat tahun terakhir ini. Teenlit termasuk dalam novel genre yang memiliki keunikan pemakaian gaya bahasanya yang “gue banget” atau di sebut juga dengan bahasa gaul yang ringan, santai, lucu dan mencoba untuk menganalisis teenlit yang berjudul “mates, dates and pulling power(jadi cewek nggak keren)”, dakam teenlit itu mencoba untuk mengupas segala bentuk fenomena kehidupan remaja sekaligus menghibur, konflik yang di sajikanpun tergolong dengan keseharian remaja.
Penulis perkotaan dengan segala bentuk konflik yang terjadi yakni konflik dengan teman, orang tua, saudara, pacar yang di tuangkan dalam cerita yang cukup menghibur dan menciptakan suatu pembelajaran.
1.2   Rumusan Masalah
a)      Teori Sosiologi dan Psikologi Sastra.
b)      Bagaimana analisis teenlit “mates, dates and pulling power” dari segi sosiologi?


1.3   Tujuan
a)      Agar lebih memahami konsep pendekatan sosiopsikologi sastra.
b)      Mampu menganalisis teenlit dari aspek psikologi
c)      Pemahaman tentang penggunaan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis karya sastra.





BAB II
PEMBAHASAN
SOSIOLOGI dan PSIKOLOGI SASTRA

2.1  Sosiologi Sastra
2.1.1        Pengertian Sosoiologi Sastra
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3). Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, Sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah ‘mimesis’, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.
Sastra bukan lagi penjiplakan atas kenyataan melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia”(konsep-konsep umum). penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
2.1.2        Tujuan Sosiologi dalam Sastra
Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.
2.2  Psikologi Sastra
2.2.1        Pengertian Psikologi Sastra
Menurut Endraswara (2003:97) Psikologi sastra merupakan kajian yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam arti luas bahwa karya sastra tidak lepas dari kehidupan yang menggambarkan berbagai rangkaian kepribadian manusia.
Ratna (dalam Albertine, 2010:54) berpendapat psikologi, khususnya psikologi analitik diharapkan mampu menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis sekaligus dengan terapinya. Selain itu, teknologi dengan berbagai dampak negatifnya dan lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya gangguan psikologis.
Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah psikologis. Namun secara definitif, tujuan psikologi sastra ialah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Psikologi lahir untuk mempelajari kejiwaan manusia, yakni manusia yang ada di bumi inilah yang menjadi objek penelitian psikologi, sastra lahir dari masyarakat, pengarang hidup dalam tengah-tengah masyarakat dan pengarang juga menciptakan karya sastranya termasuk tokoh yang ada didalamnya. Tokoh yang diciptakan secara tidak sadar oleh pengarang memiliki muatan kejiwaan yang timbul dari proyeksi pelaku yang ada dalam masyarakat, karya sastra berupa novel lebih panjang dan terperinci dalam penggambaran tokohnya, oleh karena itu kejiwaan yang ada dalam novel lebih kental pula.
Pendapat yang sama mengenai kejiwaan tokoh dalam karya sastra, dikemukakan oleh Ratna (dalam Albertine 2010:54) ialah berpendapat bahwa pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
2.2.2        Kepribadian pada kerangka Psikologi
 Dalam struktur kepribadian, ada tiga unsur sistem penting, yakni id, ego, dan superego. Menurut Bertens (2006:32) istilah lain dari tiga faktor tersebut dalam psikoanalisis dikenal sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis. Penjabaran mengenai kepribadian pada kerangka psikologi :
a.    Id
Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut. Artinya id merupakan sisitem kepribadian asli paling dasar yakni yang dibawa sejak lahir.
Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili subyektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.
Energi psikis dalam id itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak enak dan mengejar keenakan.
Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang relative inaktif atau tingkat enerji yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan enerji yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimulasi yang memicu enerji untuk bekerja-timbul tegangan energi-id beroperasi dengan prinsip kenikmatan; berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu; mengembalikan diri ke tingkat energi rendah.
Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer. Proses primer ialah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan-dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau putting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar-salah , tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang member kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.
b.    Ego
Ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan atau realita (Freud dalam Suryabrata 2010:126). Ego berbeda dengan id. Menurut Koeswara (1991:33-34), ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan.
Menurut (Freud dalam Bertens 2006:33), ego terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar, khususnya orang di sekitar bayi kecil seperti orang tua, pengasuh, dan kakak adik.
Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia realita atau kenyataan.
Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal.
Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain.
Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.
c.    Superego
Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui internalisasi (internalization), artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip idealistic sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realitik dari ego (alwisol,2004:21).
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.
Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah:
a.       Sebagai pengendali dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.
b.      Untuk mengarahkan ego pada tujuan-yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan.
c.       Mendorong individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang berbeda kealam sadar. Superego bersama dengan id, berada dialam bawah sadar (Hall dan Lindzey, 1993:67-68).
 Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam prakteknya, namun ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis.
Pengalihan energi dari id ke proses-proses yang membentuk ego terlaksana lewat suatu mekanisme yang disebut “identifikasi”. Dengan kata lain,identefikasi memungkinkan proses sekunder mengeser proses primer. Karena proses sekunder lebih berhasil dalam mereduksi tenganggan-teganggan,maka semakin banyak kateksis atau pendorong ego terbentuk. Lambat laun semakin efisien ego memonopoli persediaan psikis.
Begitu ego telah menguasai cukup energi, ia dapat menggunakanya untuk maksud-maksud lain selain memuaskan insting-insting melalui proses sekunder.
2.3  Klasifikasi Sosiologi dan Psikologi Sastra
1.      Pendekatan sosiologi dan psikologi sastra
a. Menurut Aminudin.
Sosiopsikologi merupakan metode pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan social budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan ataupun sikap pengarang terhadap lingkungannya ataupun pada zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan (Aminudin, 2004:46)

b.Menurut Jacob Soemarjo
Sosiopsikologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi kemasyarakatan, dengan mempelajari lembaga – lembaga sosial dengn segala permasalahan yang ada seperti ekonomi, politik, keagamaan, bias diketehui gambaran tentang cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Jacob Soemarjo, 1991:23).
2.      Pengertian pendekatan Sosiologi sastra
Karya pada dasarnya tercipta atas dasar dari realitas masyarakat dan juga segala unsur / aspek yang terdapat dalam lingkungan sosial.
a.    Menurut Darmono
Pendekatan sosilogi merupakan pendekatan tehadap sastra yang mempertimbangkan segi kemasyarakatan itu dengan menyertakan pula analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang berada diluar sastra (Darmono, 2003:3)
b.    Menurut Wellek dan Warnen
Pengertian pendekatan sosilogi mencakup 3 hal yakni :
v Sosiologi pengarang, mencakup masalah tentang status sosial. Ideologi, politik yang menyangkut diri pengarang.
v Sosiologi karya sastra, mencakup masalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra dan tujuan apa yang hendak disampaikan.
v Sosiologi sastra, mencakup masalah tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap masyarakat. (Wellek and Warren, 93:111)
3.      Pengertian pendekatan psikologi sastra.
Pendekatan psikoanalisis dalam sastra sebenarnya tidak hanya sekedar melihat narasi dalam substansi karakter pelakunya, melainkan harus ditarik pada satu generalisasi apakah antara yang fiksi itu berkaitan dengan realis, apakah fenomena psikologis yang terdapat dalam teks cerita tersebut menggambarkan kebenaran dalam realitas.



v Menurut Segers
Penelitian psikologis sastra, merupakan penelitian atau pendekatan yang lebih menitik beratkan pada aspek functioning humand min “pikiran manusia” (Segers, 2000:13).
v Menurut Hardjana
Pendekatan Psikologisastra, merupakan pendekatan yang memiliki 4 tipe yakni mencakup psikologi seni, proses kreatif yang melibatkan proses kejiwaan, teori psikologi, dan dampak psikologis teks sastra kepada pembaca (Hardjana, 1985:60-61)
























BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pengrtian dan penjelasan serta pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Sosiologi dan Psikologi Sastra berhubungan secara sistematis. Berdasarkan penegrtian ini, dapat dikatakan bahwa Pendekatan sosiopsikologi sastra merupakan metode pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat maupun tanggapan keliwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungannya ataupun pada zamannya pada saat cipta sastra diwujudkan.
1.      Analisis sosiologis menurut Darmono : pada orientasi tenlit MDn’PP pada kelas sosial menengah keatas.
2.      Analisis sosiologis menurut Wellek dan Warren
3.      Analisis psikologis menurut Segers : menyuguhkan perasaan mengejutkan, perasaan ambiguitas.
4.      Analisis psikologis menurut Hardjana :
a)      Psikologi seni ialah tentang problema Nesta yang harus memakai kawat logam di giginya,
b)      Proses kreatifnya ialah memperdalam karakter psikologi remaja dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial dan problema remaja,
c)      Penelitian hokum psikologi mencakup : - psikologi kepribadian, seorang gadis yang tak percaya diri dengan kondisi fisiknya, - Behaviorisme, perubahan psikologi tokoh Nesta yang sebelumnya beranggapan uang adalah segalanya dan sekarang dia lebih bisa dewasa.
d)     Dampak psikologis bagi pembaca : kita harus lebih percaya diri dan menerima apapun kekurangan yang ada pada diri kita yang besar hati.






DAFTAR PUSTAKA

www.goodreads.com/book/show/2572017 (online 25 September 2013)
www.bimbie.com>bimbie.com>ilmu Pengetahuan>bahasa Indonesia>sastra (online, 25 September 2013)
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : FBS UNIV. Negeri Yogyakarta.
Guntur, Henry Tarigan. 1989. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa.
Hopkins, Chaty. 2008. Mates, Dates and Pulling Power. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 1991. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
http : // Kajian Sastra. Blog Spot.com (online. 25 September 2013).
www.muridoke.com, 2007 (online.25 September 2013)
Pb@ diknas.go.id (online 25 September 2013)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(SKRIPSI) ANALISIS INTERTEKSTUALITAS KETIDAKADILAN GENDER ANTARA NOVEL PEREMPUAN DITITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI DENGAN NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

MOTTO Jadilah dirimu. Hidup bukan untuk mendapat pujian orang lain, dan jangan pernah menyamar hanya untuk dipuji, tapi cobalah untu...