Minggu, 13 Agustus 2017

Sastra 'Angkatan 2000'



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belakangan ini perkembangan sastra Indonesia telah mengalami perubahan, khususnya dalam hal kebebasan berekspresi. Menurut beberapa para ahli,mengatakan bahwa sastra itu adalah kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada batasan-batasan yang bisa menahan lajunya perkembangan kesusasteraan khususnya di Indonesia.
Setelah lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000".
Kehadiran karya sastra merupakan sebuah manifestasi atas kebudayaan yang ada pada saat itu. Terbentuknya sastra pasca-reformasi merupakan hal yang dilematis dari sejarah sastra Indonesia. Periode yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Periode yang lahir dengan semangat revolusioner. Kemungkinan periode ini merupakan jendela bagi perkembangan kesusasteraan di Indonesia. Dan seharusnya setiap detail dalam perkembangan itu harus terus kita catat dan kita gali.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang lahirnya sastra reformasi?
2.      Kemunculan Sastrawan Wanita pada Tahun 2000-an
3.      Peristiwa apa saja yang terjadi pada masa reformasi ?
4.      Apa saja karakteristik sastra pada masa itu ?
5.      Apa saja karya terpopuler pada masa itu ?
C.    Tujuan
1.      Memahami latar belakang lahirnya sastra pasca reformasi
2.      Mengetahui Peristiwa apa saja pada pasca reformasi
3.      Memahami apa saja karakteristik sastra pada masa itu
4.      Mengetahui apa saja karya terpopuler pada masa itu


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Lahirnya Angkatan 2000
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki ‘Juru bicara’. Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000.
Sebuah buku tebal yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta tahun 2002, seratus lebih penyair, cerpennis, novelis, esais dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, seperti Afrisal Malna, Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Menurut Korrie, Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari interaksi missal.
Setelah terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu dibekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba-tiba memperoleh saluran kebebasan yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya.
Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah:
·         Afrisal Malna
·         Seno Gumira Ajidarma
·         Ayu Utami

B.     Kemunculan Sastrawan Wanita pada Tahun 2000-an
Awal tahun  2000-an merupakan masa peralihan dari zaman orde baru ke zaman reforamasi. Otomatis rezim Presiden Soeharto jatuh dan digantikan oleh Presiden Habibie. Pada masa itu pula terjadi perubahan karya-karya sastra baik dalam segi tema, maupun segi pemakaian bahasa. Perubahan ini disebabkan pembatasan tentang pengeluaran ekspresi masyarakat terhadap pemerintah.
Setelah lahirnya reformasi, banyak sastrawan menulis karya sastra yang bertemakan tentang sosial-politik. Tema yang jarang sekali dibuat oleh para sastrawan terdahulu. Pada masa itu pula lahir tokoh sastrawan baru, membuat catatan baru bagi periodisasi sastra di Indonesia. Munculnya tokoh sastrawan baru banyak menuai kontroversi maupun dukungan dari masyarakat. Terutama lahirnya sastrawan wanita. Mereka berani untuk membuat karya sastra dengan tema yang tidak biasa. Mereka mencoba untuk menyuarakan aspirasi – aspirasi wanita dengan jalan menulis sebuah buku fiksi.
Salah satu sastrawan wanita di Indonesia, Ayu Utami, mampu melahirkan karya sastra baru yang menguak masalah seks dan agama. hal yang  dianggap tabu bagi masyarakat. Sejak itu Ayu Utami menjadi akrab di telinga para sastrawan dan menempatkan namanya di  deretan teratas sastrawan Tanah Air. Menurut saya, karya Ayu Utami cukup berani dalam pengambilan tema. Ketidakadilan dan moralitas yang berlebihan bagi kaum wanita dirasa menganggu pikirannya dan ia pun tergelitik hatinya untuk mencoba menulis. Saman, merupakan salah saktu karya terbaik yang telah mengantarkannya sebagai pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta  tahun 1998. Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra serta novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia.
Banyaknya nama sastrawan wanita di Indonesia tahun 2000 cukup menghebohkan dibandingkan tahun sebelumnya. Munculnya sastrawan wanita tidak lepas dari transformasi sosio-kultural Indonesia, yang merupakan hasil perjuangan para feminis yang menuntut eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender.  Pada tahun 1970-an, Indonesia mulai memasuki masa perkembangan industri. Sehingga banyak laki-laki yang tertarik untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Karena lebih menantang dari pada sector sastra. Sedangkan para wanita yang berintenskan di rumah, mempunyai waktu luang untuk menulis. Alhasil, para sastrawan wanita menyebutkan bahwa menulis merupakan profesi utama.
Sebenarnya, tidak ada yang salah mengenai tema yang dibuat oleh sastrawan wanita angkatan tahun 2000 ini. Mungkin karena pengambilan tema yang terlalu “Antimainstream” yang membuat masyarakat belum dapat menerimanya secara penuh dan menuai banyak perbedaan pendapat. Sebagai wanita dengan berbagai kemampuannya, sah – sah saja jika para sastrawan wanita mengangkat tema tersebut asalkan masih berada pada jalur sastra. Karena hasil karya mereka merupakan sebuah gagasan yang disertai analisa yang kuat terhadap lingkungan mereka. Gagasan inilah yang merupakan ciri khas dari sastrawan wanita angkatan 2000-an, yaitu perspektif feminisme yang disebut – sebut sebagai upaya dekontruksi terhadap dominasi patriarki.
Munculnya sejumlah sastrawan wanita pada periode 2000-an dalam kancah sastra Indonesia, di satu sisi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan sastra Indonesia, di sisi lain juga menuai kontoroversi yang tidak sepenuhnya mendapat pujian dari masyarakat penggemar karya sastra. Tergantung bagaimana masyarakat memilih dan menelaah isi dari karya sastra tersebut.
C.    Peristiwa yang Terjadi pada Masa Reformasi
Reformasi di Indonesia ditandai dengan jaruhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula sebuah tirani, yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap rakyat Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfalitasi rakyat Indonesia dalam memperoleh kebebasan yang selama ini mereka harapkan.
Lahirnya reformasi ini menandakan kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini selalu terkungkung dalam lembah kelam. Bagi mereka yang memiliki sifat revolusioner, kehadiran reformasi ini merupakan momok yang selalu diidam-idamkan. Akan tetapi, kenyataaannya malah membuat mereka semakin radikal.
Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :
·         2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
·         2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
·         2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
·         2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
·         2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayatCinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
·         2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.

·         2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
·         2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
·         2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia.

D.    Karakteristik Karya Sastra Angkatan 2000-an
1.      Menggunakan kata-kata maupun frase yang bermakna kontatif (makna yang mempunyai hubungan/kaitan)
2.      Banyak menyindir keadaan  sekitar  baik sosial, budaya, politik, atau lingkungan
3.      Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan kecenderungan ke puisi kongkret yang di sebut antromofisme
4.      Kritik sosial sering muncul lebih keras
5.      Penggunaan estetika baru
6.      Karya cenderung vular,
7.      Mulai bermunculan fiksi-fiksi islami,
8.      Munculnya cyber sastra di Internet
9.      Ciri-ciri bahasa diambil dari bahasa sehari-hari yaitu kerayatjelataan,
10.  Karya satra pada angkatan ini mulai berani memunculkan karya sastra yang cenderung berbau vulgar  dan kebanyakan mengadopsi begitu saja moral pergaulan bebas ala amerika.


E.     Karya yang Populer
Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode reformasi merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan.
Kehidupan pers yang terkesan serbabebas serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.
Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:
1.      Kesemarakan media massa – surat kabar dan majalah telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.
2.      Adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.
3.      Terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu, usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.
Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer.
Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen Indonesia.
Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara itu.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.
Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004) memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.
Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.
Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Setiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.
Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.
Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan sastra di Indonesia sepertinya mengalami problematika tersendiri. Terkadang periode kesusasteraan sulit sekali ditentukan dimana sebuah periode itu dimulai. Secara teori sejarah kesusasteraan di Indonesia ini masih tergolong muda, belum sampai berumur satu abad, sehingga masih banyak lobang-lobang yang perlu di gali.
Oleh sebab itu dibutuhkan suatu bentuk kajian yang diharapkan mampu menarik dan menghidupkan sastra di Indonesia. Sastra Indonesia reformasi merupakan contoh kecil dari sejarah kesusasteraan Indonesia yang masih muda ini. Perlu di ketahui bahwa dengan mempelajari sastra berarti secara tidak langsung juga kita mempelajari sejarah yang membentuk sastra itu sendiri.
Setelah melakukan beberapa pendekatan yang disarankan, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa perkembangan sastra Indonesia reformasi telah sampai pada hakikatnya, yaitu bebas berekspresi. Reformasi telah menghantarkan sastra Indonesia ini pada bentuk yang baru, bentuk yang lebih radikal dan transparan. Sebagai contoh adalah cerpen, yang dalam perkembangannya sebelum reformasi tidak pernah mendapat tempat tertinggi dalam kesusasteraan Indonesia, yang dahulu tidak pernah dianggap sebagai bagian dari karya sastra. Sastra reformasi ternyata mampu mengangkat cerpen sebagai karya sastra yang paling diminati dan cepat berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(SKRIPSI) ANALISIS INTERTEKSTUALITAS KETIDAKADILAN GENDER ANTARA NOVEL PEREMPUAN DITITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI DENGAN NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

MOTTO Jadilah dirimu. Hidup bukan untuk mendapat pujian orang lain, dan jangan pernah menyamar hanya untuk dipuji, tapi cobalah untu...