BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Berawal dari bahan mentah yang telah merasuki pikirannya
sebagai bekal penghayatan yang dalam benak sastrawan menjadi sebuah rasa
menggelora, mengkristal menjadi kata-kata yang siap di tuangkan, yang pada
akhirnya membentuk rentetan kalimat hingga layak menjadi sebuah karya sastra.
Sumardo menyatakan bahwa sastrawan mendapat kepuasan jika ia mengetahui bahwa
pikiran dan perasaan yang di ungkapkannya dengan media karya sastra di terima
dengan baik oleh penikmat sastra. Jadi karya sastra merupakan suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni, sedangkan sasatra merupakan ungkapan pribadi
manusia yang berupa pengalaman, perasaan dan keyakinan.
Perkembangan karya sastra Indonesia merupakan cermin
kehidupan Indonesia dan identitas serta kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Berbagai perubahan yang terjadi di suatu Negara, seperti IPTEK maupun akibat
peristiwa alam merupakan bagian inspirasi di dalam penulisan karya sastra.
Sastra di indonesiapun berkembang dengan sangat cepat, terutama sastra remaja
“teenlit” pada tiga, empat tahun terakhir ini. Teenlit termasuk dalam novel
genre yang memiliki keunikan pemakaian gaya bahasanya yang “gue banget” atau di
sebut juga dengan bahasa gaul yang ringan, santai, lucu dan mencoba untuk menganalisis
teenlit yang berjudul “mates, dates and pulling power(jadi cewek nggak keren)”,
dakam teenlit itu mencoba untuk mengupas segala bentuk fenomena kehidupan
remaja sekaligus menghibur, konflik yang di sajikanpun tergolong dengan
keseharian remaja.
Penulis perkotaan dengan segala bentuk konflik yang
terjadi yakni konflik dengan teman, orang tua, saudara, pacar yang di tuangkan
dalam cerita yang cukup menghibur dan menciptakan suatu pembelajaran.
1.2
Rumusan Masalah
a)
Teori
Sosiologi dan Psikologi Sastra.
b)
Bagaimana analisis teenlit “mates, dates and
pulling power” dari segi sosiologi?
1.3
Tujuan
a)
Agar lebih memahami konsep pendekatan
sosiopsikologi sastra.
b)
Mampu menganalisis teenlit dari aspek
psikologi
c)
Pemahaman tentang penggunaan pendekatan yang
digunakan untuk menganalisis karya sastra.
BAB
II
PEMBAHASAN
SOSIOLOGI
dan PSIKOLOGI SASTRA
2.1 Sosiologi Sastra
2.1.1
Pengertian
Sosoiologi Sastra
Sosiologi
sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan
asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan
oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian
sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan
bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal
dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto,
1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra
dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek
sasarannya.
Istilah
“sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk memperhatikan hubungan
antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi
ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang
bahwa karya sastra secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial
suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
Sekalipun
teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam
disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang
tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3). Sastra merupakan pencerminan
masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema
kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima
pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap
masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra
yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota
masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari
adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus
membentuknya.
Konsep sosiologi
sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang,
Sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi
sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan
istilah ‘mimesis’, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat
sebagai ‘cermin’.
Sastra
bukan lagi penjiplakan atas kenyataan melainkan sebagai suatu ungkapan atau
perwujudan mengenai “universalia”(konsep-konsep umum). penyair memilih beberapa
unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan
kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Pada zaman
positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine
(1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang
sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine
ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah
dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan
pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa
sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat
(momen), dan lingkungan (milieu). Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia
dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu
periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep
Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang
menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
2.1.2
Tujuan
Sosiologi dalam Sastra
Rahmat Djoko Pradopo (1993:34)
menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk
mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan
masyarakat.
Pendekatan sosiologi sastra yang
paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek
dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung
dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas,
dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan
pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra
yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sosiologi adalah telaah tentang
lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat.
Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya
sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha
manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.
Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali
dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik,
negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat
disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang
sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita
tentang sastra belum lengkap.
2.2 Psikologi
Sastra
2.2.1
Pengertian
Psikologi Sastra
Menurut Endraswara (2003:97) Psikologi
sastra merupakan kajian yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan.
Dalam arti luas bahwa karya sastra tidak lepas dari kehidupan yang
menggambarkan berbagai rangkaian kepribadian manusia.
Ratna (dalam Albertine, 2010:54)
berpendapat psikologi, khususnya psikologi analitik diharapkan mampu menemukan
aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan
psikologis sekaligus dengan terapinya. Selain itu, teknologi dengan berbagai
dampak negatifnya dan lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya
gangguan psikologis.
Psikologi sastra tidak bermaksud
memecahkan masalah psikologis. Namun secara definitif, tujuan psikologi sastra
ialah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Psikologi
lahir untuk mempelajari kejiwaan manusia, yakni manusia yang ada di bumi inilah
yang menjadi objek penelitian psikologi, sastra lahir dari masyarakat,
pengarang hidup dalam tengah-tengah masyarakat dan pengarang juga menciptakan
karya sastranya termasuk tokoh yang ada didalamnya. Tokoh yang diciptakan
secara tidak sadar oleh pengarang memiliki muatan kejiwaan yang timbul dari
proyeksi pelaku yang ada dalam masyarakat, karya sastra berupa novel lebih
panjang dan terperinci dalam penggambaran tokohnya, oleh karena itu kejiwaan
yang ada dalam novel lebih kental pula.
Pendapat yang sama mengenai kejiwaan
tokoh dalam karya sastra, dikemukakan oleh Ratna (dalam Albertine 2010:54)
ialah berpendapat bahwa pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada
masalah unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
2.2.2
Kepribadian
pada kerangka Psikologi
Dalam struktur kepribadian, ada tiga unsur
sistem penting, yakni id, ego, dan superego. Menurut Bertens (2006:32) istilah
lain dari tiga faktor tersebut dalam psikoanalisis dikenal sebagai tiga
“instansi” yang menandai hidup psikis. Penjabaran
mengenai kepribadian pada kerangka psikologi :
a. Id
Menurut
Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar
sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut.
Artinya id merupakan sisitem kepribadian asli paling dasar yakni yang dibawa
sejak lahir.
Dari
id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua
aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id
berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili subyektivitas yang
tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik
untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari
struktur kepribadian lainnya.
Energi psikis dalam id itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak enak dan mengejar keenakan.
Energi psikis dalam id itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak enak dan mengejar keenakan.
Id
beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha
memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah
keadaan yang relative inaktif atau tingkat enerji yang rendah, dan rasa sakit
adalah tegangan atau peningkatan enerji yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika
ada stimulasi yang memicu enerji untuk bekerja-timbul tegangan energi-id
beroperasi dengan prinsip kenikmatan; berusaha mengurangi atau menghilangkan
tegangan itu; mengembalikan diri ke tingkat energi rendah.
Penerjemahan
dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer. Proses
primer ialah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi
atau menghilangkan tegangan-dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti
bayi yang lapar membayangkan makanan atau putting ibunya.
Id
hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan
kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau
membedakan benar-salah , tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan
memperoleh khayalan itu secara nyata, yang member kepuasan tanpa menimbulkan
ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id
memunculkan ego.
b. Ego
Ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul
karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan
atau realita (Freud dalam Suryabrata 2010:126). Ego berbeda dengan id. Menurut
Koeswara (1991:33-34), ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai
pengaruh individu kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip kenyataan.
Menurut (Freud dalam Bertens 2006:33), ego terbentuk dengan
diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar, khususnya orang di
sekitar bayi kecil seperti orang tua, pengasuh, dan kakak adik.
Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan organisme
memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia realita atau kenyataan.
Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang
memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon
dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya
peluang yang resikonya minimal.
Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk
mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan
lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan
konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain.
Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.
Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.
c. Superego
Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui
internalisasi (internalization), artinya larangan-larangan atau perintah-perintah
yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian
rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Superego adalah kekuatan moral dan
etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip idealistic sebagai lawan
dari prinsip kepuasan id dan prinsip realitik dari ego (alwisol,2004:21).
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.
Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah:
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.
Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah:
a. Sebagai pengendali dorongan atau
impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut disalurkan dengan cara atau
bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.
b. Untuk mengarahkan ego pada
tujuan-yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan.
c. Mendorong individu kepada
kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang
berbeda kealam sadar. Superego bersama dengan id, berada dialam bawah sadar
(Hall dan Lindzey, 1993:67-68).
Jadi superego cenderung untuk menentang, baik
ego maupun id, dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek
tersebut meski memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam prakteknya, namun
ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis.
Pengalihan
energi dari id ke proses-proses yang membentuk ego terlaksana lewat suatu
mekanisme yang disebut “identifikasi”. Dengan kata lain,identefikasi
memungkinkan proses sekunder mengeser proses primer. Karena proses sekunder
lebih berhasil dalam mereduksi tenganggan-teganggan,maka semakin banyak
kateksis atau pendorong ego terbentuk. Lambat laun semakin efisien ego
memonopoli persediaan psikis.
Begitu ego
telah menguasai cukup energi, ia dapat menggunakanya untuk maksud-maksud lain
selain memuaskan insting-insting melalui proses sekunder.
2.3 Klasifikasi
Sosiologi dan Psikologi Sastra
1.
Pendekatan sosiologi dan psikologi sastra
a. Menurut
Aminudin.
Sosiopsikologi merupakan metode pendekatan
yang berusaha memahami latar belakang kehidupan social budaya, kehidupan
masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan ataupun sikap pengarang terhadap
lingkungannya ataupun pada zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan
(Aminudin, 2004:46)
b.Menurut Jacob Soemarjo
Sosiopsikologi sastra merupakan pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi kemasyarakatan, dengan mempelajari
lembaga – lembaga sosial dengn segala permasalahan yang ada seperti ekonomi,
politik, keagamaan, bias diketehui gambaran tentang cara manusia menyesuaikan
diri dengan lingkungannya (Jacob Soemarjo, 1991:23).
2.
Pengertian pendekatan Sosiologi sastra
Karya pada dasarnya tercipta atas dasar dari
realitas masyarakat dan juga segala unsur / aspek yang terdapat dalam
lingkungan sosial.
a. Menurut
Darmono
Pendekatan sosilogi merupakan pendekatan
tehadap sastra yang mempertimbangkan segi kemasyarakatan itu dengan menyertakan
pula analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan
memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang berada diluar sastra (Darmono,
2003:3)
b. Menurut
Wellek dan Warnen
Pengertian pendekatan sosilogi mencakup 3 hal
yakni :
v Sosiologi
pengarang, mencakup masalah tentang status sosial. Ideologi, politik yang
menyangkut diri pengarang.
v Sosiologi
karya sastra, mencakup masalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra dan
tujuan apa yang hendak disampaikan.
v Sosiologi
sastra, mencakup masalah tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap
masyarakat. (Wellek and Warren, 93:111)
3.
Pengertian pendekatan psikologi sastra.
Pendekatan psikoanalisis dalam sastra
sebenarnya tidak hanya sekedar melihat narasi dalam substansi karakter
pelakunya, melainkan harus ditarik pada satu generalisasi apakah antara yang
fiksi itu berkaitan dengan realis, apakah fenomena psikologis yang terdapat dalam
teks cerita tersebut menggambarkan kebenaran dalam realitas.
v Menurut
Segers
Penelitian psikologis sastra, merupakan
penelitian atau pendekatan yang lebih menitik beratkan pada aspek functioning
humand min “pikiran manusia” (Segers, 2000:13).
v Menurut
Hardjana
Pendekatan Psikologisastra, merupakan
pendekatan yang memiliki 4 tipe yakni mencakup psikologi seni, proses kreatif
yang melibatkan proses kejiwaan, teori psikologi, dan dampak psikologis teks
sastra kepada pembaca (Hardjana, 1985:60-61)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
beberapa pengrtian dan penjelasan serta pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa Sosiologi dan Psikologi Sastra berhubungan secara sistematis. Berdasarkan
penegrtian ini, dapat dikatakan bahwa Pendekatan sosiopsikologi sastra merupakan metode pendekatan yang
berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat
maupun tanggapan keliwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungannya ataupun
pada zamannya pada saat cipta sastra diwujudkan.
1. Analisis
sosiologis menurut Darmono : pada orientasi tenlit MDn’PP pada kelas sosial
menengah keatas.
2. Analisis
sosiologis menurut Wellek dan Warren
3. Analisis
psikologis menurut Segers : menyuguhkan perasaan mengejutkan, perasaan
ambiguitas.
4. Analisis
psikologis menurut Hardjana :
a)
Psikologi seni ialah tentang problema Nesta
yang harus memakai kawat logam di giginya,
b)
Proses kreatifnya ialah memperdalam karakter
psikologi remaja dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial dan problema remaja,
c)
Penelitian hokum psikologi mencakup : -
psikologi kepribadian, seorang gadis yang tak percaya diri dengan kondisi
fisiknya, - Behaviorisme, perubahan psikologi tokoh Nesta yang sebelumnya
beranggapan uang adalah segalanya dan sekarang dia lebih bisa dewasa.
d)
Dampak psikologis bagi pembaca : kita harus
lebih percaya diri dan menerima apapun kekurangan yang ada pada diri kita yang
besar hati.
DAFTAR
PUSTAKA
www.goodreads.com/book/show/2572017
(online 25 September 2013)
www.bimbie.com>bimbie.com>ilmu
Pengetahuan>bahasa Indonesia>sastra (online, 25 September 2013)
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta : FBS UNIV. Negeri Yogyakarta.
Guntur, Henry Tarigan. 1989. Prinsip-prinsip Dasar
Sastra. Bandung : Angkasa.
Hopkins, Chaty. 2008. Mates, Dates and Pulling Power. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hopkins, Chaty. 2008. Mates, Dates and Pulling Power. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 1991. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
http : // Kajian Sastra. Blog Spot.com (online. 25
September 2013).
www.muridoke.com, 2007 (online.25 September 2013)
Pb@ diknas.go.id (online 25 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar