BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Belakangan ini perkembangan sastra
Indonesia telah mengalami perubahan, khususnya dalam hal kebebasan berekspresi.
Menurut beberapa para ahli,mengatakan bahwa sastra itu adalah kebebasan itu
sendiri. Jadi tidak ada batasan-batasan yang bisa menahan lajunya perkembangan
kesusasteraan khususnya di Indonesia.
Setelah
lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan
karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana
tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000".
Kehadiran karya sastra merupakan
sebuah manifestasi atas kebudayaan yang ada pada saat itu. Terbentuknya sastra
pasca-reformasi merupakan hal yang dilematis dari sejarah sastra Indonesia.
Periode yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Periode yang lahir
dengan semangat revolusioner. Kemungkinan periode ini merupakan jendela bagi
perkembangan kesusasteraan di Indonesia. Dan seharusnya setiap detail dalam
perkembangan itu harus terus kita catat dan kita gali.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang lahirnya sastra reformasi?
2.
Kemunculan Sastrawan Wanita pada
Tahun 2000-an
3. Peristiwa
apa saja yang terjadi pada masa reformasi ?
4. Apa saja
karakteristik sastra pada masa itu ?
5. Apa saja
karya terpopuler pada masa itu ?
C.
Tujuan
1. Memahami
latar belakang lahirnya sastra pasca reformasi
2. Mengetahui
Peristiwa apa saja pada pasca reformasi
3. Memahami apa
saja karakteristik sastra pada masa itu
4. Mengetahui
apa saja karya terpopuler pada masa itu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Lahirnya Angkatan
2000
Setelah wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena
tidak memiliki ‘Juru bicara’. Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar
wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000.
Sebuah buku tebal yang diterbitkan
oleh Gramedia, Jakarta tahun 2002, seratus lebih penyair, cerpennis, novelis,
esais dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk
mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, seperti Afrisal Malna,
Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir
tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Menurut Korrie,
Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat missal benda-benda
dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari interaksi missal.
Setelah terjadi reformasi, ruang
gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu dibekap dan terganjal oleh gaya
pemerintahan Orde Baru yang represif tiba-tiba memperoleh saluran kebebasan
yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para
pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang
mematangkannya.
Angkatan 2000 adalah nama yang
diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan
wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah:
·
Afrisal Malna
·
Seno Gumira Ajidarma
·
Ayu Utami
B.
Kemunculan Sastrawan Wanita pada Tahun 2000-an
Awal tahun 2000-an merupakan masa peralihan dari zaman
orde baru ke zaman reforamasi. Otomatis rezim Presiden Soeharto jatuh dan
digantikan oleh Presiden Habibie. Pada masa itu pula terjadi perubahan
karya-karya sastra baik dalam segi tema, maupun segi pemakaian bahasa.
Perubahan ini disebabkan pembatasan tentang pengeluaran ekspresi masyarakat
terhadap pemerintah.
Setelah lahirnya reformasi, banyak
sastrawan menulis karya sastra yang bertemakan tentang sosial-politik. Tema
yang jarang sekali dibuat oleh para sastrawan terdahulu. Pada masa itu pula
lahir tokoh sastrawan baru, membuat catatan baru bagi periodisasi sastra di
Indonesia. Munculnya tokoh sastrawan baru banyak menuai kontroversi maupun
dukungan dari masyarakat. Terutama lahirnya sastrawan wanita. Mereka berani
untuk membuat karya sastra dengan tema yang tidak biasa. Mereka mencoba untuk
menyuarakan aspirasi – aspirasi wanita dengan jalan menulis sebuah buku fiksi.
Salah satu sastrawan wanita di
Indonesia, Ayu Utami, mampu melahirkan karya sastra baru yang menguak masalah
seks dan agama. hal yang dianggap tabu
bagi masyarakat. Sejak itu Ayu Utami menjadi akrab di telinga para sastrawan
dan menempatkan namanya di deretan
teratas sastrawan Tanah Air. Menurut saya, karya Ayu Utami cukup berani dalam
pengambilan tema. Ketidakadilan dan moralitas yang berlebihan bagi kaum wanita
dirasa menganggu pikirannya dan ia pun tergelitik hatinya untuk mencoba
menulis. Saman, merupakan salah saktu karya terbaik yang telah mengantarkannya
sebagai pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta
tahun 1998. Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan
kritikus sastra serta novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia
sastra Indonesia.
Banyaknya nama sastrawan wanita di
Indonesia tahun 2000 cukup menghebohkan dibandingkan tahun sebelumnya.
Munculnya sastrawan wanita tidak lepas dari transformasi sosio-kultural
Indonesia, yang merupakan hasil perjuangan para feminis yang menuntut
eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender. Pada tahun 1970-an,
Indonesia mulai memasuki masa perkembangan industri. Sehingga banyak laki-laki
yang tertarik untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Karena lebih menantang dari
pada sector sastra. Sedangkan para wanita yang berintenskan di rumah, mempunyai
waktu luang untuk menulis. Alhasil, para sastrawan wanita menyebutkan bahwa
menulis merupakan profesi utama.
Sebenarnya, tidak ada yang salah
mengenai tema yang dibuat oleh sastrawan wanita angkatan tahun 2000 ini. Mungkin
karena pengambilan tema yang terlalu “Antimainstream” yang membuat masyarakat
belum dapat menerimanya secara penuh dan menuai banyak perbedaan pendapat.
Sebagai wanita dengan berbagai kemampuannya, sah – sah saja jika para sastrawan
wanita mengangkat tema tersebut asalkan masih berada pada jalur sastra. Karena
hasil karya mereka merupakan sebuah gagasan yang disertai analisa yang kuat
terhadap lingkungan mereka. Gagasan inilah yang merupakan ciri khas dari
sastrawan wanita angkatan 2000-an, yaitu perspektif feminisme yang disebut –
sebut sebagai upaya dekontruksi terhadap dominasi patriarki.
Munculnya sejumlah sastrawan wanita
pada periode 2000-an dalam kancah sastra Indonesia, di satu sisi mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perkembangan sastra Indonesia, di sisi lain juga
menuai kontoroversi yang tidak sepenuhnya mendapat pujian dari masyarakat
penggemar karya sastra. Tergantung bagaimana masyarakat memilih dan menelaah
isi dari karya sastra tersebut.
C.
Peristiwa yang Terjadi pada Masa Reformasi
Reformasi di Indonesia ditandai
dengan jaruhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung dengan lengsernya
Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula sebuah tirani,
yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap rakyat
Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfalitasi rakyat Indonesia dalam
memperoleh kebebasan yang selama ini mereka harapkan.
Lahirnya reformasi ini menandakan
kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini selalu terkungkung dalam lembah
kelam. Bagi mereka yang memiliki sifat revolusioner, kehadiran reformasi ini
merupakan momok yang selalu diidam-idamkan. Akan tetapi, kenyataaannya malah
membuat mereka semakin radikal.
Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode
ini :
·
2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B.
Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji
Thukul terbit.
·
2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA)
diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang
pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado,
Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono,
Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
·
2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra
Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel,
dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan
sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
·
2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan
Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran.
Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun
berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono
Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan
tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur
Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
·
2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama
kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden,
mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan
lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru
bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara
bebas. Novel Ayat-ayatCinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit.
Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya
Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko
Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia
dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
·
2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit.
Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best
seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga
ditransformasi ke film.
·
2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia:
1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia
bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi
Sastra Dunia.
·
2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit.
Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut
adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode
Kampung, dan majalah Boemipoetra.
·
2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan
buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko
buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya
Ita F. Nadia.
D.
Karakteristik Karya Sastra Angkatan
2000-an
1.
Menggunakan kata-kata maupun frase yang bermakna kontatif
(makna yang mempunyai hubungan/kaitan)
2.
Banyak menyindir keadaan
sekitar baik sosial, budaya,
politik, atau lingkungan
3.
Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan
kecenderungan ke puisi kongkret yang di sebut antromofisme
4.
Kritik sosial sering muncul lebih keras
5.
Penggunaan estetika baru
6.
Karya cenderung vular,
7.
Mulai bermunculan fiksi-fiksi islami,
8.
Munculnya cyber sastra di Internet
9.
Ciri-ciri bahasa diambil dari bahasa sehari-hari yaitu
kerayatjelataan,
10.
Karya satra pada angkatan ini mulai berani memunculkan karya
sastra yang cenderung berbau vulgar dan
kebanyakan mengadopsi begitu saja moral pergaulan bebas ala amerika.
E.
Karya yang Populer
Dalam perjalanan sastra Indonesia,
periode reformasi merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini,
karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang
beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang
seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam
sistem pemerintahan.
Kehidupan pers yang terkesan
serbabebas serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka,
kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para
pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.
Dibandingkan puisi, novel, dan
drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama reformasi mengalami booming. Cerpen
telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu.
Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis
atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar
menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:
1. Kesemarakan media massa – surat kabar
dan majalah telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk
mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen
ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar
minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan
menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.
2. Adanya kegiatan lomba menulis
cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada
event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan
lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang
juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru
dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya.
Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.
3. Terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh
Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala
dalam dua tahun sekali di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan
kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra
cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan
keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu,
usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk
diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan
keadaan sebelumnya.
Meskipun posisi cerpen berada dalam
keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal
regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara
substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum
menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi
sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap
didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia
kontemporer.
Cerpen Indonesia mutakhir masih
tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi
reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan
sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap
menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi,
cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen
Indonesia.
Martin Aleida misalnya, mengangkat
tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk
pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika
terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang
baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada
zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia.
Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya
termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah
memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada
saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti
sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru
menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda
telah memilih cara itu.
Pendatang baru yang cukup
menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen
Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika
novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi,
namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki
Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi
cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan
semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan
kesungguhan Eka melakukan eksperimen.
Azhari, cerpenis kelahiran Aceh
adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang
menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda,
Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam
mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara
aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan
sebuah potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan
Pala (2004) memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan
Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi
sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan
kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan
kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.
Dengan kekuatan narasi yang hampir
sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di
Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005)
menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja,
cerpennya ““Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra
Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam
sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup
menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca
dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi
peristiwa yang diangkat cerpen itu.
Sejumlah nama cerpenis lain yang
kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di
antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang
Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002;
Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu,
2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi
(Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang
Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Setiawan
(Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo
(Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan
Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang
lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan,
mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.
Selain nama-nama itu, cerpenis
wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan
kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang
sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu
(Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004),
Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan,
2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square,
2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu
Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka
berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori,
Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.
Yang menarik dari karya cerpenis
perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang
dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih,
dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi
yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai
pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani
mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkembangan sastra di Indonesia
sepertinya mengalami problematika tersendiri. Terkadang periode kesusasteraan
sulit sekali ditentukan dimana sebuah periode itu dimulai. Secara teori sejarah
kesusasteraan di Indonesia ini masih tergolong muda, belum sampai berumur satu
abad, sehingga masih banyak lobang-lobang yang perlu di gali.
Oleh sebab itu dibutuhkan suatu
bentuk kajian yang diharapkan mampu menarik dan menghidupkan sastra di
Indonesia. Sastra Indonesia reformasi merupakan contoh kecil dari sejarah
kesusasteraan Indonesia yang masih muda ini. Perlu di ketahui bahwa dengan
mempelajari sastra berarti secara tidak langsung juga kita mempelajari sejarah
yang membentuk sastra itu sendiri.
Setelah melakukan beberapa
pendekatan yang disarankan, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
perkembangan sastra Indonesia reformasi telah sampai pada hakikatnya, yaitu
bebas berekspresi. Reformasi telah menghantarkan sastra Indonesia ini pada
bentuk yang baru, bentuk yang lebih radikal dan transparan. Sebagai contoh
adalah cerpen, yang dalam perkembangannya sebelum reformasi tidak pernah
mendapat tempat tertinggi dalam kesusasteraan Indonesia, yang dahulu tidak
pernah dianggap sebagai bagian dari karya sastra. Sastra reformasi ternyata
mampu mengangkat cerpen sebagai karya sastra yang paling diminati dan cepat
berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar